Thursday, November 25, 2004

Pesantren Menjajaki Perubahan

Sebagai lembaga pendidikan berbasis agama, pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam. Dengan menyediakan kurikulum yang berbasis agama (religion-based curriculum), pesantren diharapkan mampu melahirkan alumni yang kelak diharapkan mampu menjadi figur agamawan yang demikian tangguh dan mampu memainkan dan membiaskan peran propetiknya pada masyarakat secara umum. Artinya, akselerasi mobilitas vertikal dengan penjejalan materi-materi keagamaan menjadi prioritas, untuk tidak mengatakan satu-satunya prioritas dalam pendidikan pesantren. Akibatnya, pemberian ruang yang demikian besar pada ilmu-ilmu keagaamaan telah menciptakan penghalang mental untuk melakukan perubahan di tubuhnya sendiri.

Padahal, di tengah gegap gempita dan kompetisi sistem pendidikan yang ada, pesantren—sebagai lembaga pendidikan tertua yang masih bertahan hingga kini—tentu saja harus sadar bahwa penggiatan diri melulu pada wilayah keagamaan tidak lagi memadai. Pesantren dituntut untuk senantiasa apresiatif sekaligus selektif dalam menyikapi dan merespons perkembangan. Pragmatisme budaya yang kian menggejala sejatinya bisa dijadikan pertimbangan lain bagaimana seharusnya pesantren mensiasati fenomena tersebut. Bukannya malah menutup diri, pesantren sejatinya membuka diri sekaligus menjajaki perubahan, dan pada saat yang sama, pesantren harus proaktif dan memberikan ruang bagi pembenahan.

Desakan untuk perubahan sistemik di tubuh pesantren ini terjadi karena beberapa faktor. Pertama, kolonialisme dan sistem pendidikan liberal. Propaganda sistem pendidikan liberal yang diusung Belanda tentu saja berdampak pada sistem pendidikan pesantren, sebuah lembaga “pribumi” tertua di tanah air. Sebagaimana diketahui, pada dasawarsa terakhir abad ke-19, Belanda mulai memperkenalkan sistem pendidikan liberal. Meskipun pada saat itu, lembaga pendidikan tersebut hanya dibatasi pada kalangan kelas tertentu, namun dalam perkembangannya—utamanya setelah dilaksanakannya ethische politiek pada awal abad ke-20—berdirilah lembaga pendidikan kolonial yang diperuntukkan pada seluruh rakyat, termasuk umat Islam Indonesia. Tentu saja, dengan hadirnya lembaga pendidikan tersebut, posisi pesantren semakin terancam.

Meskipun demikian, kecurigaan pesantren terhadap ancaman lembaga pendidikan kolonial tidak selalu berwujud penolakan yang a priori. Karena, di balik penolakannya, ternyata diam-diam pesantren melirik metode yang digunakannya untuk kemudian mencontohnya. Fenomena “menolak sambil mencontoh”, demikian Karel Steenbrink (1994) mengistilahkannya, tampak dalam perkembangan pesantren di Jawa. Ini terlihat, misalnya, dengan diajarkannya pengetahuan umum semisal bahasa Melayu dan Belanda, sejarah, ilmu hitung, ilmu bumi, dan sebagainya. Pada tahun 1934, Wahid Hasyim atas restu ayahnya, Hasyim Asy’ari, mendirikan madrasah Nidhomiyah di mana pengajaran pengetahuan umum mencapai 70 persen dari keseluruhan kurikulum yang diajarkan (Dhafier, 1994). Ini merupakan salah satu respons pesantren dalam mensiasati tuntutan zaman yang tujuannya bukan mengurangi keunikan pesantren itu sendiri, melainkan justru melengkapi dan memperluas cakupan keilmuannya.

Kedua, perubahan orientasi keilmuan pendidikan pesantren. Tidak seperti pada abad XVI-XVIII, orientasi keilmuan pesantren abad XX tidak lagi terpusat ke Hijaz, melainkan merambah ke wilayah Timur Tengah lainnya, semisal Mesir, Baghdad, atau bahkan ke Eropa. Peralihan orientasi pendidikan orang pesantren ini mengindikasikan bahwa Hijaz tidak lagi menjadi cita-cita ideal dan pusat kosmik, meminjam istilah Bruinessen, pendidikan pesantren abad ini. Perluasan jaringan intelektual yang tidak saja ke Hijaz ini, tetapi juga ke wilayah lainnya, turut mewarnai produk keilmuan pesantren dan diversivikasi literatur yang dihasilkannya. Lahirnya karya-karya intelektual dengan ragam disiplin keilmuan, misalnya, menjadi bukti luasnya cakupan keilmuan pesantren abad ini. Tidak seperti pada abad-abad sebelumnya di mana intelektual pesantren hanya melahirkan karya-karya tentang akidah, fikih, dan tasawuf, intelektual pesantren abad ini—di samping tiga disiplin itu—telah menghasilkan khazanah intelektual yang kaya, meliputi ilmu falak, mantiq, sejarah, kritik sosial, dan semacamnya.

Ketiga, gerakan pembaharuan Islam. Munculnya gerakan pembaharuan Islam di tanah air–sebagai pengaruh pembaharuan Islam di belahan dunia lainnya—mulai tampak pada awal abad ke-20 ini lagi-lagi menjadikan pesantren sebagai sasaran kritik. Oleh para pembaharu yang sok kebarat-baratan ini, pesantren ditengarai sebagai lembaga pendidikan “kolot” yang hanya mengajarkan keilmuan “langit” dengan melupakan pijakannya di bumi. Sebagai dampak dari situasi ini, pesantren meresponsnya secara beragam, mulai dari penolakan dan konfrontasi hingga kekaguman dan peniruan naif terhadap pola pendidikan Barat.

Oleh karena itu, tidak sedikit pesantren yang tetap pada pola lamanya dengan menolak segala hal yang berbau Barat. Bertahannya pesantren-pesantren dengan sistem salafi, misalnya, dapat dijadikan contoh fenomena ini. Sebalikya, dipihak lain, munculnya sejumlah pesantren dengan label dan simbol-simbol yang tampak modern menjadi contoh lain kuatnya pengaruh pendidikan Barat yang diusung para pembaharu bagi dunia pesantren. Namun juga jangan dilupakan, ada respon lain di mana pesantren tetap mempertahankan keunikankannya yang masih relevan (al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih), namun di pihak yang lain, ia secara selektif mengadaptasi pola-pola baru yang bisa menopang kelanggenangan sistem pendidikan pesantren (al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah).

Variasi sistem pendidikan pesantren tersebut terjadi karena berbedanya cara merespons keadaan, di samping beragamnya latar belakang pendidikan para pendiri dan penerus kepemimpinan pesantren. Lunturnya pamor Hijaz sebagai pusat kosmik ngelmu—yang bisa jadi karena mundurnya sistem madrasah di tanah Arab selama abad ke18 dan abad ke-19 (Van Bruinesen, 1995)—juga dapat dijadikan faktor munculnya beragam variasi sistem pendidikan pesantren berikut diversifikasi kurikulum yang diajarkannya. Dan ternyata, dalam perkembangannya, pesantren (diharapkan) mampu melerai kesenjangan, atau bahkan pertentangan, antara pendidikan agama di satu pihak dan pendidikan umum di pihak yang lain.

Selain itu, ada faktor keempat yang turut ambil bagian dalam mengubah kecenderungan pesantren selama ini, yaitu persentuhan dengan dunia Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Khususnya pada awal-awal tahun 70-an melalui proyek pemberdayaan masyarakat melalui pesantren, LP3ES mengadakan Latihan Tenaga Pengembangan Masyarakat (LTPM) dengan melibatkan sejumlah pesantren sebagai pilot project bagi rencana program selanjutnya. Hasilnya, pesantren relatif lebih terbuka dan memberi ruang bagi perubahan-perubahan. Persoalan kemasyarakatan kembali menjadi fokus perhatiannya setelah untuk beberapa saat lamanya pesantren begitu terasing dari masyarakat sekitar.

Dalam konteks inilah pesantren di samping mempertahankan kurikulum yang berbasis agama, juga melengkapinya dengan kurikulum yang menyentuh dan berkait erat dengan persoalan dan kebutuhan kekinian umat. Perlu ditegaskan di sini bahwa modifikasi dan improvisasi yang dilakukan pesantren semestinya hanya terbatas pada aspek teknis operasional-nya, bukan substansi pendidikan pesantren itu sendiri. Karena, apabila improvisasi itu menyangkut substansi pendidikan, maka pesantren yang mengakar ratusan tahun lamanya akan tercerabut dan kehilangan elan vital sebagai penopang moral yang menjadi citra utama pendidikan pesantren.

Teknis operasional yang dimaksud bisa berwujud perencanaan pendidikan yang rasional, pembenahan kurikulum pesantren dalam pola yang mudah dicernakan, dan tentu saja adalah skala prioritas dalam pendidikan. Dengan pola perencanaan yang matang, terstruktur sembari mempetimbangkan skala prioritas dan pembentukan kurikulum yang efektif dan efisien dapat dipastikan pesantren mampu terus menancapkan pengaruhnya di tengah-tengah masyarakat yang belakangan tampak mulai apatis, untuk tidak mengatakan alergi dengan sistem pendidikan pesantren.
Memang, ketegangan-ketegangan kerap terjadi antara tradisi pesantren dan desakan realitas di sekitarnya—massifnya perkembangan “sekolah umum” misalnya, namun hal itu terselesaikan selama masing-masing mau menyadari kekurangannya. Dan dialog-dialog semacam itu akan terus berlangsung di mana dinamikanya akan sangat ditentukan oleh pergantian ritme, meminjam istilah Taufik Abdullah (1988), rout and rally, “gempur” dan “akur”. Artinya, ada saat-saat di mana dua belahan tradisi (pesantren dan realitas di sekitarnya) “bertengkar”, tetapi ada pula saatnya mereka “mesra”. Dialog-dialog semacam itu akan terus berlanjut hingga terbentuknya sintesa-sintesa kreatif melalui modifikasi atau improvisasi. Dan semangat dialogis semacam inilah yang mutlak dipertahankan, sehingga pesantren tidak kehilangan penggemarnya. Bahkan sebaliknya, kehadiran pesantren tetap menjadi idaman masyarakat di tengah penggerusan moral akibat konsumerisme budaya. Tentu saja, pesantrenlah yang harus membuktikan perannya.(*)

No comments:

Post a Comment