Thursday, November 25, 2004

Mengusung Agama Liberatif

Menegaskan bahwa teks berperan signifikan dalam membentuk corak keberagamaan seseorang merupakan suatu hal yang niscaya. Dalam konteks Islam, Al-Quran menjadi teks fundamental yang menempati ruang istemewa di kalangan pemeluknya. Sayangnya, pengistemewaan itu kerap diwujudkan dalam bentuk “persembahan simbolik” kepada Tuhan dengan pahala sebagai pemuasnya, atau bahkan dijadikan sebagai media yang dipertontonkan di hadapan khalayak dalam setiap ritual keagamaan. Al-Qur’an hanya ditampilkan dan diperkenalkan sisi keindahan dan keajaibannya, sementara kandungan maknanya nyaris dilupakan dan terlupakan. Al-Qur’an tak ubahnya benda antik yang terus diabadikan dalam museum dan kemudian ditempatkan dalam ruang hampa. Ia menjadi teks yang terlepas dari konteks sejarahnya.

Padahal Al-Qur’an dengan segala keilahiannya ditujukan untuk kepentingan manusia (earthly realization), dan mengembalikan Al-Qur’an kepada Tuhan jelas bertentangan dengan raison d’ etre wahyu. Proses penurunan wahyu yang merentang kurang lebih dua puluh tiga tahun cukup menjadi bukti bahwa kehadirannya adalah dalam kerangka merespons dan menanggapi realitas. Ini juga menunjukkan adanya interaksi kreatif antara teks di satu pihak dan konteks yang mengitarinya di pihak yang lain. Proses interaksi yang terjadi secara serentak ini menunjukkan, meminjam istilah Farid Esack, progresifitas wahyu dalam mencermati realitas yang dihadapinya.

Dengan menggunakan logika interaksi kreatif antara teks dan konteks di samping logika wahyu progresif dalam menyapa realitas, maka jelaslah bahwa kehadiran wahyu adalah dalam rangka membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan sekaligus mendeklarasikan keadilan untuk semua. Sayangnya, pesan-pesan Al-Quran semacam itu terkubur dan dikubur oleh hadirnya beragam tafsir yang, alih-alih membebaskan, justru sebaliknya semakin mengukuhkan penindasan dan menebar semangat intoleran.
Fenomena perang ayat yang dihembuskan oleh para tokoh agama kita menjadi contoh yang amat ironis. Ayat-ayat pun dijadikan “penyemangat” demi melangsungkan dan melanggengkan proyek pribadinya sekaligus pada saat yang sama menghipnotis kesadaran pengikutnya. Al-Qur’an pun dijadikan benteng pengaman demi menutupi perilaku bejatnya.

Gelagat ideologisasi dengan menjajakan kitab suci tersebut tampaknya menjadi konsumsi kaum elit agawaman kita. Teks-teks suci yang demikian indah pun divirusi oleh pemaknaan yang menguntungkan dirinya sembari menindas rakyatnya. Rakyat pun dihibur dengan “sorga sana”, sementara kaum elitnya menari-nari dan berpesta pora di “sorga sini”. Jika demikian kenyataannya, keindahan pesan-pesan kitab suci tidak lagi mendamaikan umatnya, malah sebaliknya akan membisingkan siapa saja yang mendengarnya. Sungguh ironis!

Kemanusian dengan segala problematikanya tidak lagi menarik minat para elit kita, baik elit politik ataupun elit agama, untuk ambil bagian memikirkan sekaligus mencari jalan keluarnya. Justru sebaliknya, kompetisi merebut keuntungan politik dan materiallah yang menjadi idealismenya. Pertarungan menjelang pemilu presiden II yang sebentar lagi digelar tampak menunjukkan betapa simbol-simbol agama mulai dimanfaatkan sebagai ajang politisasi. Agama seolah dijadikan alat untuk menggapai kepentingan sesaatnya. Potret ironis semacam ini kian mempertegas bahwa para politisi kita tidak lagi memiliki kepedulian kepada umat, yang alih-alih menjunjung tinggi kemanusian, malah sebaliknya: memperdagangkan kemanusian atas desakan ambisi naifnya. Begitu kuatnya penghargaan terhadap kepentingan kelompoknya, mereka tega mengorbankan pesan-pesan agama, bahkan nilai-nilai kemanusian itu sendiri.
Potret buram fenomena keberagamaan ini demikian telanjang di hadapan kita. Agama mulai kehilangan aura liberatifnya. Padahal dalam sejarahnya, agama selalu menjadi sumber koreksi, atau meminjam istilah Robert J. Ackermann, sumber kritik sosial abadi. Lebih jauh lagi, dalam nilai-nilainya yang abadi, agama selalu menjadi sumber inspirasi pembebasan manusia dari berbagai belenggu perbudakan, penindasan, dan eksploitasi. Munculnya Islam sebagai agama tidak terkecuali memerankan semangat serupa. Kehadiran nabi-nabi dalam sejarah agama-agama merupakan contoh nyata betapa agama menyuarakan dan mendeklarasikan semangat pembebasan.

Sayangnya dalam perkembangannya, elan liberatif agama mulai lenyap, atau lebih tepatnya dilenyapkan. Bahkan, agama seringkali dimanfaatkan sebagai medium oppresif yang memperbudak dan meninabobokan kesadaran umat manusia. Tidak kurang dari Aloysious Pieres, teolog-filosof asal Srilangka, menengarai bahwa pada hakikatnya agama membiaskan wajah ganda. Di satu sisi, agama bersifat liberatif dan membebaskan, di sisi yang lain agama justru berwajah oppresif dan memperbudak.
Dalam wataknya yang liberatif, agama memperlihatkan diri dalam kemampuannya untuk mengadakan perubahan-perubahan dan transformasi sosial. Sedangkan dalam wataknya yang oppresif, agama kerap menjejalkan benih-benih fanatisme dikalangan penganutnya yang ujung-ujungnya berdampak pada situasi tertekan bagi penganut agama lain.

Memang, agama (apapun agamanya) tidak pernah mengabsahkan perbudakan, penindasan, dan eksploitasi. Tetapi umat beragamalah yang kerap melakukan penindasan dan eksploitasi, dan bahkan tidak jarang mengusung simbol-simbol agama. Jika demikian kenyataannya, apakah agama akan mewujudkan nilai-nilai terbaik dan teragung dalam masyarakat sebagaimana diyakini Emiel Durkheim, atau malah sebaliknya, agama merupakan symptom of alienation, suatu legitimasi simbolik kelas berkuasa—agawawan misalnya—dan suatu penghibur yang ditawarkan kepada orang-orang tertindas(mustadl’afin) mengenai “dunia yang lain” sebagaimana diyakini Karl Marx?

Oleh karena itu, sudah seharusnya semangat liberatif agama dihadirkan kembali. Semangat liberatif agama hanya mungkin dihadirkan pada situasi di mana nalar diberikan ruang akselerasi yang demikian leluasa. Karena, pemasungan nalar hanya akan berujung pada pembekuan dan pembakuan, dan pembakuan semacam ini akan berujung tidak saja pada pembunuhan kreatifitas dan dinamika intelektual. Lebih dari itu, pembakuan dan pembekuan malah mereduksi elan liberatif agama itu sendiri, dan yang hadir kemudian adalah wajah agama yang oppresif.(*)

No comments:

Post a Comment