Thursday, November 25, 2004

Menggagas Islam Progresif

Fenomena mutakhir yang tergelar di jagad semesta ini memperlihatkan dan menampilkan sebuah fenomena yang cukup mengerikan. Mengerikan karena kekerasan hampir menjadi potret tunggal yang dipentaskan. Penindasan satu kelompok atas kelompok lainnya juga menjadi tontonan paling dramatis dan santapan sehari-hari. Kemanusiaan di mana keadilan dipertaruhkan pun raib, dan yang bertahan adalah logika rimba atau apa yang digambarkan Hobbes sebagai homo homini lupus. Agama pun kehilangan elan vital untuk mendakwahkan moralitas perennialnya. Alih-alih mengharapkan kedamaian dan keadilan yang menjadi muatan utama agama, malah sebaliknya, sakralitas agama pun dinodai oleh umatnya demi menuruti ambisi sesaatnya. Agama pun, sebagaimana didedahkan Charles Kimball dalam bukunya, When Religion Becomes Evil (Harper San Francisco, 2002), menjadi semacam “makhluk” menakutkan yang hanya menebar kejahatan (evil). Jika demikian, apa yang dapat diharapkan dari agama dan umatnya? Adilkah menudingkan dan melimpahkan kesalahan pada agama? Bukankah agama-agama, termasuk Islam, sama sekali tidak menuturkan apa-apa, tetapi umatnyalah yang bertindak dan bertingkah? Islam says nothing, Muslims do (Omid Safi, 2003).

Di pihak lain, modernitas yang menjanjikan objektifitas ilmu pengetahuan dan universalitas moral dan hukum pun tidak lagi mampu melapangkan impian utopis itu. Apa yang oleh Habermas disebut dengan “patologi modernitas” menjadi bukti konkret bualan sekaligus arogansi modernitas yang berhasrat menghadirkan “dunia tak bertepi” dengan segala ketunggalannya. Hibriditas ter(di)berangus atas nama universalitas. Demikianlah dunia hadir dengan mengikuti sekaligus menuju kemajuan peradaban Barat modern. Barat ditampilkan sebagai “wajah agung” peradaban, atau dalam istilah Fukuyama sebagai The End of History. Barat menjadi semacam logosentrisme peradaban.

Dalam perkembangannya, agama kemudian dikawinkan dengan modernitas dengan asumsi bahwa agama compatible dengan modernitas. Agama kemudian ditarik dan diulur mengikuti logika modernisme berikut derivasinya, liberalisme. Munculnya apa yang dikenal dengan Islam Liberal, misalnya, merupakan aktualisasi perkawinan tersebut. Dengan mendengungkan slogan-slogan demokrasi dan slogan-slogan gagah lainnya, Islam Liberal berhasil mewarnai, atau lebih tepatnya memoles, modernisme berikut idiom-idiom yang terkandung di dalamnya dengan Islam. Hasilnya, jadilah Islam Liberal sebagai “Islamic vaneer” yang hendak melapisi modernisme dan liberalisme dengan Islam.

Sementara di pihak yang lain, persoalan umat menjadi “komoditas intelektual” yang hanya diperbincangkan di café-café yang jauh panggang dari api. Perbincangan yang bernuansa elitis dan intelektualis ini belum menyentuh “persoalan sesungguhnya” (real problem) umat yang begitu menderita akibat struktur dan kultur yang tidak adil. Ketidakadilan struktural dan kultural itulah yang ingin dijamah “Islam Progresif” sekaligus menjadikan beragam problem sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mendera umat sebagai locus theologicus-nya.

Epistemelogi Islam Progresif

Kehadiran genre baru Islam yang kemudian mengidentifikasi dirinya sebagai Islam Progresif ini dilatari oleh ketidakpuasan epistemis terhadap kelompok-kelompok Islam semisal tradisionalisme konservatif dan rejeksionisme. Kalau yang pertama secara membabi-buta mengekor pada masa lalu sebagai masa gemilang yang tak dapat dibantah dan digugat (ghayru qâbil li al-niqâs), yang kedua malah secara gegabah menolak (reject) segala sesuatu yang berbau masa lalu, bahkan berupaya menampik—sebagaimana paradigma modernis—kehadiran beragam aliran dan madzhab. Pada dua model ini, historisitas tidak lagi di(ber)harga(i). Realitas hanya milik masa lalu, atau sebaliknya, hanya milik masa kini. Dan, Islam progresif berupaya menampik dua kecenderungan tersebut, yang sebenarnya, sama-sama ahistoris.

Progresif, sebagaimana ditunjukkan Omid Safi dalam buku Progressive Muslims on Juctice, Gender, and Pluralism (Oneworld, 2003), merujuk pada upaya memperjuangkan keadilan di mana tidak ada lagi penguasaan individu atau kelompok yang satu pada individu atau kelompok lainnya dan masing-masing memiliki hak dan ruang yang sama untuk mengaktualisasikan perannya. Dengan demikian, perjuangan ini lebih diarahkan pada wilayah aksi atau praxis ketimbang perbincangan kritis di hotel-hotel yang itu tidak lebih sebagai bentuk “bualan akademik” (academic illusion) yang sama sekali tidak membumi. Selain itu, Islam Progresif tidak hanya memikirkan Alquran dan kehidupan Muhammad sebagai pijakannya, melainkan juga realitas yang tergelar di mana umat manusia melakoni kehidupannya. Ini penting karena dengan mencermati realitas konkret dan tantangan yang dihadapi umat kita diharapkan mampu menuntaskan carut-marut dan problematika kehidupan umat manusia secara keseluruhan.

Pada level wacana, Islam Progresif memberikan perhatian yang cukup besar pada persoalan-persoalan yang meliputi “penghargaan terhadap tradisi” (engaging tradition), keadilan sosial (social justice), keadilan gender (gender justice), dan pluralisme. Dalam konteks penghargaan terhadap tradisi, Islam Progresif berusaha mengawinkan beragam tadisi, termasuk tradisi Islam, yang demikian kaya yang membentang dari masa lalu hingga kini. Kegagalan membaca Islam adalah karena kita melupakan masa lalu. Padahal, dengan menyelami masa lalu secara kritis, kita dapat melampauinya dengan mengusulkan formulasi-formulasi baru yang lebih segar sesuai dengan tantangan masanya sekaligus lebih mendekati jantung persoalan umat. Bukankah setiap tradisi, termasuk tradisi Islam, merupakan tradisi yang terus berproses untuk menjadi (tradition-in-becoming)?

Keadilan sosial dan keadilan gender juga menjadi fokus perhatian gerakan Islam Progresif ini. Pesan-pesan Alquran yang mendesakkan pentingnya keadilan (al-‘adl) dan berbuat baik untuk semua (QS.16:90) tanpa membedakan jenis kelamin, asal-usul ras, agama, dan etnik tertentu sejatinya diterjemahkan dan ditransformasikan dalam kerangka aksi. Struktur, kultur, dan otoritas yang menindas yang ditampilkan para “firaun baru” (new pharanoic) dengan segala upaya dehumanisasinya harus dengan segera dilawan.

Selain itu, pluralisme—yang juga menjadi konsentrasi gerakan Islam Progresif—belum secara massif disadari oleh umat manusia. Penindasan dan kekerasan yang dilakukan satu kelompok atas kelompok lainnya dengan mengusung simbol otoritas dan agama tertentu belum juga ada tanda-tanda berakhir. Raibnya kesadaran akan pluralisme ini ditengarai menjadi salah satu faktor penyebabnya. Oleh karena itu, sudah saatnya bagi kita untuk mendengungkan kemanusiaan, the totality of humanity, dengan mengabaikan segala bentuk perbedaan dan keunikannya.

Quo Vadis?

Jika demikian kenyataannya, mungkinkah kehadiran Islam Progresif bisa dijadikan alternatif pemikiran dan action sekaligus? Islam Progresif, sebagaimana dinyatakan Omid Safi, tidak mendakwakan diri sebagai model pembacaan dan gerakan yang kanonik. Islam Progresif hadir sebagai bentuk pertukaran gagasan yang terus berubah dan berkembang sekaligus pengakuan terhadap spektrum interpretasi terhadap pengalaman Islam dan umatnya yang demikian kaya.

Dengan mengusung dan membumikan gagasan-gagasan besar semisal keadilan sosial dan pluralisme, gerakan Islam Progresif mengidentifikasi diri sebagai gerakan yang tidak hanya bergagah-gagah dengan slogan yang sebenarnya tak bergreget, tak bermakna, meaningless. Slogan-slogan yang lebih berkesan apologetik ketimbang memberikan solusi konkret itulah yang hendak dilampaui (beyond apologetics) oleh gerakan ini. Pesan-pesan agama tidak perlu dislogankan dan di-“pamflet”-kan, seolah-olah problematika umat manusia yang demikian kompleks dengan mudah dituntaskan dengan slogan-slogan dan brosur-brosur. Persoalan-persoalan umat harus diselesaikan dengan melibatkan diri secara aktif dalam kehidupan riil mereka. Dengan demikian, Islam Progresif tidak hanya menawarkan dan mengobral gagasan-gagasan dan program-program, melainkan yang terpenting adalah aplikasi praksis dalam menggapai keadilan. Shafi menandaskan, “Vision and activism are both necessary. Activism without vision is doomed from the start. Vision without activism quickly becomes irrelevant.” Dengan memadukan dimensi visi dan aktivisme sekaligus, Islam Progresif hadir dalam wajah yang populis, merakyat, dan jauh dari kesan elitis, intelektualis, dan utopis.[]

No comments:

Post a Comment