“Wahai pemuda, persoalan umat ada digenggamanmu. Kehidupan dan
kesejahteraan umat juga ada pada keberanian kalian untuk maju. Maju dan
bangkitlah, maka umat akan bangkit dan sejahtera.” Begitu kutipan pernyataan Mushthafa
al-Ghulayaini dalam bukunya Idzdzatun Nasi’in. Begitulah, pemuda menjadi
tumpuan utama masa depan komunitas dan masyarakatnya.
Pernyataan di atas menunjukkan dengan tegas bahwa pemuda adalah back
bone (tulang punggung) masyarakatnya. Ia bisa mengubah komunitasnya ke arah
lebih baik melalui usaha dan keinginannya. Singkatnya, pemuda memiliki peran
besar demi kemajuan suatu masyarakat dan oleh karena itu menjadi pemuda
bertanggung jawab adalah impian dan seharusnya menjadi cita-cita kita semua.
Pemuda yang bertanggung jawab adalah pemuda yang bisa memahami jati dirinya
sekaligus lingkungannya, sehingga dalam tingkah polahnya ia bisa menyesuaikan
sekaligus mengubahnya menjadi lebih baik. Bukan malah sebaliknya, membiarkan
dirinya terlena dengan kebobrokan situasi tanpa ada keinginan untuk mengubahnya
sedikitpun.
Begitu pentingnya pemuda, Al-Qur’an juga memberikan perhatian yang
luar biasa akan peran pemuda. Salah satu kisah penting, di samping kisah-kisah
penting lainnya, dalam Al-Qur’an tentang pemuda adalah kisah Ashabul Kahfi
(penghuni gua). Pemuda yang tergolong dalam Ashabul Kahfi ini menjadi ikon
penting sekaligus menjadi tipe ideal (al-matsal al-a’la) pemuda yang
bertanggung jawab. Potret pemuda yang senantiasa beriman kepada Allah dan
‘hijrah’ dari komunitasnya yang menyimpang lantaran belum kuasa untuk
mengubahnya.
Mensiati
Labilitas
Masa muda merupakan masa-masa yang labil. Ia bisa ditempatkan pada
‘situasi transisi’ dari anak-anak menuju dewasa. Labilitas psikologis pemuda
ini ditandai dengan semangatnya yang menggebu-gebu di satu sisi, tapi juga
arogansi di sisi yang lain. Sehingga kerap kali tindakannya di luar kendali
akal dan hanya menuruti emosi semata.
Situasi semacam inilah yang menjadikan masa muda sebagai masa yang
rentan. Labilitas emosi itulah yang menjadikannya lepas kontrol dan hanya
mementingkan kepentingan sesaat. Disoreintasi kerap menjadi penyakit dadakan
pemuda yang kalau tidak segera diatasi akan berdampak pada raibnya harapan akan
masa depan di mana pemuda menjadi tumpuan harapannya. Jika ini terus
berlarut-larut, maka tidak mustahil labilitas psikologis pemuda ini mengarah
pada sikap menyimpang. Sikap menyimpang pemuda yang tidak terkontrol akan merusak
sendi-sendi kehidupan masyarakat, dan dampak lebih lanjut adalah pupusnya
harapan akan masa depan komunitas dan bangsa yang baik.
Moralitas
Pemuda
Oleh karena pemuda merupakan tulang punggung komunitasnya, maka
mendidik pemuda untuk merawat moralitasnya merupakan tugas utama. Sayyidina Ali
Karramallahu wajhahu berpesan, “Jangan didik moralitas anak-anak kalian dengan
model moralitas kalian, karena mereka hidup pada ruang dan waktu yang berbeda
dengan kalian” (La tukhalliqu awladakum bi akhlaqikum fainnahum khuliqu
lizamanin ghair zamanikum).
Apa yang hendak disampaikan Sayyidina Ali adalah anjuran kepada
orang tua untuk senantiasa mempertimbangkan ruang dan waktu dalam mendidik dan
mengarahkan anak-anaknya. Sehingga ia bisa menjadi pemuda yang benar-benar siap
dan tangguh dalam menghadapi segala bentuk perubahan yang begitu pesat di masa
di mana ia akan membangun masa depannya.
Pesan Sayyidina Ali juga mengindikasikan adanya pemilahan antara
apa yang disebut dengan moralitas yang konstan (al-akhlaq al-tsabitah),
tidak berubah-ubah sepanjang zaman, dalam ruang dan waktu manapun, yang ini
harus menjadi prinsip yang harus dipegangi para pemuda. Moralitas yang konstan
ini adalah nilai-nilai otentik (al-qiyam al-ashilah) yang mutlak
dimiliki siapa saja, tidak terkecuali para pemuda, yaitu jujur, bertanggung
jawab, dan sejenisnya.
Namun ada juga moralitas yang dinamis (al-akhlaq al-mutaharrikah),
berubah-ubah seiring dengan perubahan ruang dan waktu. Meskipun moralitas jenis
ini bukan prinsip, namun harus dimiliki oleh para pemuda, dan strateginya bisa
berubah-ubah seiring dengan perubahan waktu. Ini, misalnya, mencakup bagaimana
membangun relasi dengan lainnya, etika komunikasi, tata cara mengekspresikan
pendapat, dan semacamnya. Hal ini mungkin saja berubah sesuai dengan perubahan
ruang dan waktu. Moralitas jenis ini harus terus ditanamkan oleh orang tua dan
pendidik agar anak atau anak didiknya kelak tidak terkaget-kaget dengan
realitas yang terus berubah, dan berbeda dengan masa kecilnya.
Sayangnya, di tengah-tengah masyarakat kita, pemuda kerap menjadi
‘penyakit’ ketimbang ‘obat’ masyarakat. Fenomena mutakhir menunjukkan adanya
eskalasi tingkat kebobrokan moralitas yang itu dilakoni oleh para pemuda. Pesta
narkoba, minum-minuman keras, seks bebas, dan semacamnya selalu menghiasi
berita di media massa. Kita tidak bisa menutup mata, bahwa fakta di hadapan
kita adalah indikasi awal bagi matinya peran pemuda dan merawat dirinya
sendiri, lebih-lebih merawat komunitasnya. Padahal, raibnya moralitas justru
menjadi awal buruk bagi masa depan suatu bangsa. Penyair lembah Nil, Sauqi Bek,
mengungkapkan: Peradaban suatu bangsa akan terus bertahan seiring dengan
bertahannya moralitas masyarakatnya. Sebaliknya, raibnya moralitas akan
meraibkan peradaban suatu bangsa.
أنما الأمم
الأخلاق مابقيت # فإن همو ذهبت أخلاقهم ذهبوا
Persoalannya, mengapa masih banyak pemuda-pemuda kita yang hanya beriman
kepada kebatilan sementara pada nikmat dan anugerah Allah mereka kufur, afabil
baathil yu’minun wa bini’matillah hum yakfurun? (Maka
mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?)"
(An-Nahl [16]: 72)
Keluarga sebagai bagian terkecil dalam masyarakat sejatinya bisa
membimbing dan mengarahkan pemuda, sekaligus menanamkan moralitas, baik
moralitas yang konstan maupun moralitas dinamis dengan menginvestasikan
pendidikan yang konstekstual bagi kehidupan generasi muda di masa mendatang.
Sehingga mereka tidak asing dengan realitas dan tantangan masa yang akan ia
hadapi di masa mendatang. I’tikad baik keluarga ini juga harus ditopang oleh
masyarakat secara massif di samping juga kebijakan pemerintah yang memberikan
perhatian besar bagi masa depan pemuda.
Di sinilah peran semua pihak, keluarga, pemerintah dan semua elemen
masyarakat untuk bahu membahu mengarahkan masa depan pemuda dan mengantarkannya
pada kehidupan yang sesungguhnya, kehidupan yang memberikan dampak positif baik
bagi diri, keluarga, masyarakat, agama, dan bangsanya. Mengingat pemuda
merupakan idaman masa depan, dan oleh karena itu, investasi yang baik di masa
kini menjadi penting untuk terus diupayakan demi kebaikan masa mendatang.
Selain memintakan tanggung jawab kepada keluarga, masyarakat, dan pemerintah,
sejatinya para pemuda sendiri menyadari jati dirinya dengan menjadi pemuda yang
bertanggung jawab. (Ah. Fawaid, Staf Pengajar STAIN Pamekasan,
fawaid.sjadzili@gmail.com)
No comments:
Post a Comment