Monday, June 26, 2006

Kiai dan Lantunan Lirik Oum Kultsum Itu

Malam itu [20/06/06], suasana begitu semarak. Dengan busana yang beragam, orang-orang menampilkan identitasnya. Dari yang berbusana nicis ala teknokrat, dengan jas, dasi, dan pantalon yang tersetrika rapi hingga bersarung dengan baju koko. Belum lagi dengan jubah dengan ikat hitam dan serban merah di kepalanya. Semuanya memadati kursi-kursi yang disediakan untuk menikmati menu makan malam.
Ya. Di sebuah hotel bintang lima itu, sejumlah orang dari berbagai negara, dan berstatus sebagai scholar berkumpul. Mereka melakukan konferensi untuk membincang banyak hal menyangkut persoalan yang membelit umat Islam. Dari soal kemiskinan hingga persoalan global paradox.

Aku tidak terlalu mengikuti alur kegiatan itu. Karena aku bukanlah scholar. Maklum aku anak kemarin sore yang iseng-iseng mengintip gawe besar di hotel besar itu. Hotel berkelas bukan barang aneh bagi para kiai, malah menjadi tempat yang wajar dalam setiap momentum yang dilakukan organisasi para ulama ini. Memang nyaman dan aman. Karena semuanya serba tersedia.

Dan malam itu, begitu menu makan malam disediakan, aku pun berbondong-bongong masuk bersama para peserta konferensi itu. Ya, walaupun bukan peserta konferensi, setidaknya aku juga bisa menjadi peserta pada makan malam di gedung mewah itu. Bukan menu makanan yang menarik perhatianku, karena aku sebenarnya tidak terlalu menikmati dengan menu-menu mewah itu. Maklum seleraku masih selera warteg, dan tentu saja perutku akan kaget dengan suguhan menu-menu aneh itu. Yang menarik perhatianku adalah iringan musik dalam momen makan malam itu. Biduawanita melantunkan musik padang pasir yang digubah penyanyi legendaris asal Mesir, Omm Kulsum yang berjudul Al-Athlal. ”Hal Ra’al hubbu sukara mislana…Kam Banaina min khayalin hawlana", begitu potongan lirik yang aku ingat. Semoga tidak salah dengar, karena pendengaranku masih pendengaran orang Indonesia.

Menarik? Bukankah iringan musik dalam setiap makan malam di hotel berbintang selalu saja menjadi pelengkap? Ya, memang. Tapi ini menarik. Sungguh menarik. Dan ini yang membuatku tertarik untuk menuliskannya di blog ini. “Ruangan ini berisik, pening kepala saya,“ begitu sapa seorang kiai mengawali perbincangan di sela-sela makan malam itu. Sengaja aku tidak mengawali pembicaraan, karena aku khawatir beliau enggan untuk bercakap. Tapi begitu beliau mengawali pembicaraan, aku sambut sapaannya. “Kenapa Pak Kiai?”, jawabku. “Berisik, pakek musik dan penyanyi wanita lagi,” begitu urainya. Aku terdiam, dan aku memaklumi, bahwa musik masih menjadi bagian yang janggal dalam tradisi pesantren. Apalagi dilengkapi dengan biduwanita. Semakin terasa “berisik”. “Oia Pak Kiai, kenapa harus menghadirkan penyanyi wanita ya?” begitu sahutku menjawab respons kecewa Pak Kiai. Kiai yang merupakan petinggi di PBNU itu terdiam. “Bagaimana peran Syuriah dalam acara ini?, ”aku menimpali pertanyaan. “Tidak tahu lah, panitia tidak memahami etika NU,” begitu keluhnya. Saya pun terdiam, tidak menimpali lagi jawaban kecewa sang kiai ini. Kami melanjutkan makan malam dalam keadaan sama-sama diam. Memang masih terlihat perasaan gelisah pada diri kiai di depanku itu.

Sementara kiai di depanku gelisah, salah seorang kiai yang berdampingan dengan beberapa orang Arab di jajaran meja di belakangku terlihat begitu gembira. Berbeda dengan kiai yang duduk di sampingku, kiai ini begitu menikmati alunan musik dengan lagu hal ra’al hubbu sukara mislana…kam banayna min khayalin hawlana ini. Sambil mengangkat dan menepuk-nepuk tangannya, sang kiai itu seoalah hendak berdiri menikmati alunan musik itu. Tentu makannya sangat nikmat dilengkapi menu musik yang menyihir perasaan itu. Berbeda dengan kiai yang duduk di sampingku yang seolah merasa terpaksa menikmati makan malam itu. Ku hanya tersenyum dalam hati, enggan menyembulkan senyum khawatir menyinggung perasaan kiai di depanku itu.

Ya begitulah kiai. Mereka memiliki alasannya sendiri untuk membenci dan menikmati musik, bahkan dengan penyanyi perempuan sekalipun. Dan kiai yang di depanku pun buru-buru keluar begitu beliau selesai makan. Saya masih duduk sambil bergumam, “Menarik juga mencatat kisah itu dalam blog”.