Monday, April 05, 2004

Pemilu 2004: Harapan di Tengah Kekhawatiran

Harapan akan berlanjutnya transisi menuju demokrasi kembali hadir di saat pemilu yang dijadwalkan berlangsung 5 April 2004 mendatang kian mendekat. Pemilu 1999 lalu yang menjadi awal yang baik bagi transisi demokrasi ternyata tidak membuahkan hasil, untuk tidak mengatakan gagal sama sekali. Memang, sebagaimana diingatkan Guillarmo O’ Donnell (1993) bahwa transisi menuju demokrasi tidak selalu berlangsung mulus. Pengalaman sejumlah negara yang melalui masa transisi demokrasi setelah tumbangnya rezim otoriter tidak serta merta berhasil menjadi negara demokratis. Alih-alih berhasil mencapai demokratisasi, yang terjadi malah otoritarianisme baru yang tidak kalah otoriternya dengan rezim sebelumnya. Peter Calvert (1995: 15) pun membenarkan bahwa dalam struktur politik yang mapan sekalipun, masa transisi akan melahirkan krisis legitimasi sesaat. Bahkan, kalau proses transisi tidak dikawal dengan konsolidasi, bukan tidak mungkin krisis legitimasi itu berlangsung abadi.

Tumbangnya rezim Soeharto setelah kurang lebih 32 tahun berkuasa yang kemudian dilanjutkan Presiden Habibie, Abdurrahman Wahid, hingga Megawati Soekarno Putra menjadi contoh betapa Indonesia belum kuasa menangkap momentum transisi menuju demokratisasi. Ini berarti bahwa tumbangnya rezim otoriter Soeharto tidak berarti mengakhiri otoritarianisme untuk kemudian beralih pada demokratisasi. Tampaknya, menumbangkan rezim otoriter adalah satu hal, dan mengonsolidasikan serta mempertahankan demokratisasi adalah hal lain.

Kini, ingar-bingar menjelang pemilihan umum April mendatang tampak demikian terasa. Kesibukan untuk mempersiapkan segala hal terus dilakukan, mulai dari pengadaan kotak suara hingga hal-hal teknis lainnya demi kelengkapan dan keberlangsungan apa yang disebut pesta demokrasi ini. Masyarakat kembali berharap menunggu momentum ini, di samping juga khawatir jangan-jangan kegagalan masa lalu kembali terulang. Baik harapan maupun kekhawatiran merupakan fenomena wajar yang menjangkiti setiap kalangan, tidak terkecuali masyarakat Indonesia yang selalu disuguhi janji-janji dan rayuan gombal parta-partai politik. Sebenarnya, masyarakat tidak terlalu banyak berharap, kecuali pemilu 2004 bisa berlangsung aman, damai, dan dapat menghasilkan wakil-wakil rakyat dan pemerintah yang berpihak kepada mereka. Tidak lebih dari itu.
Selebihnya adalah tugas pemerintah maupun penyelenggara negara yang akan mengendalikan bangsa ini untuk mewujudkan harapan-harapan warganya. Pemerintah harus mampu menangkap momentum ini agar masyarakat tidak lagi disesaki kekecewaan yang beruntun. Jika tidak, bukan tidak mungkin kepercayaan (trust) masyarakat terhadap pemerintah akan lenyap, dan jika lenyap, mustahil kepercayaan itu bisa direbut kembali.

Menebar Janji, Menanti Bukti

Membangun pemerintahan yang baik dan berwibawa (good governance) tentu menjadi harapan semua orang. Persoalannya, tidak semua orang mampu mewujudkannya, tidak terkecuali partai-partai politik yang hendak bertarung pada pemilihan umum April mendatang. Tidak kurang dari 24 partai politik lulus verifikasi dan absah mengikuti pemilu mulai tampak menebar pesona dan menabur janji. Tujuannya menjadi kabur, antara membesarkan hati masyarakat atau semata-mata mendulang suara sebanyak mungkin.

Dalam konteks ini, menarik mengutip pandangan dualistik Weber (Gerth dan Wrigh Mills, 1946: 84) tentang praktik politik: praktik politik untuk meraup untung dan praktik politik atas nama nurani. Yang pertama tampak menemukan ruang di belantika politik Indonesia. Ini terlihat dengan kenyataan bahwa hampir seluruh partai politik hanya memperjuangkan kepentingan kelompoknya demi meraup keuntungan ekonomi. Sementara masyarakat yang sejatinya mereka perjuangkan hanya layak untuk diperdagangkan dalam even-even kampanye.

Namun demikian, apapun kenyataannya, pemilu mutlak dilakukan sebagai salah satu instrumen politik bagi keberlangsungan proses-proses politik. Jika pemilu dianggap sebagai gerbang konstitusional yang paling realistis sebagai jalan keluar, maka menjamin agar gerbang tidak terganggu pada saatnya nanti mutlak dilakukan.
Bagi kalangan tertentu, pandangan semacam ini tampak pragmatis, dan seolah terlalu pasrah dengan keadaan. Namun perlu ditegaskan bahwa pesimisme dan apatisme yang berlebihan sebagian kalangan terhadap sistem politik sehingga dengan bangga mengusung isu penolakan pelaksanaan pemilu tampak lebih konyol lagi. Karena, di samping tidak relevan dan tidak populer, isu tersebut terkesan tidak realistis. Pemilu sebagai salah satu instrumen politik sekaligus sebagai jenjang proses regulasi kepemimpinan dan suksesi politik tampak menjadi langkah yang tidak boleh tidak harus dilalui. Memang, terlalu besar untuk berharap bahwa partai politik berjuang membesarkan hati rakyat. Tapi menampik pemilu sebagai langkah politik sama naifnya dengan membiarkan proses politik berlangsung stagnan.

Kekhawatiran

Di samping harapan, keresahan masyarakat juga tampak terasa seiring dengan dekatnya pelaksanaan pemilihan umum. Dalam laporannya, Kompas (26/02/04) menurunkan berita yang bertajuk Mereka Mengharapkan Pemilihan Umum Sukses. Dalam tulisan tersebut, ada pernyataan yang semestinya diindahkan bahwa “tugas politisi bukanlah untuk kemenangan demi kekuasaan, tetapi berpolitik demi kemakmuran bangsa harus menjadi tujuan utama.” Pernyataan ini merupakan refleksi dari harapan betapa pemilu menjadi idaman masyarakat secara keseluruhan. Harapan ini akan berganti kekhawatiran apabila pemilu yang dinantikan tidak berlangsung secara santun, beradab, dan beretika. Tak ada yang membantah bahwa pemilu mengandung makna pergantian, suksesi, dan kompetisi dalam merebut kekuasaan. Dan dalam kompetisi, kesantunan dan etika hendaknya dikedepankan. Tanpa dibekali norma-norma dan etika politik, kompetisi berujung pada kekerasan dan konflik.

Oleh karena itu, sudah seharusnya para politisi kita bertindak dewasa dan arif dalam menyikapi perbedaan, termasuk perbedaan aliran politik yang dipeganginya. Tanpa adanya kearifan dalam berpolitik, maka pemilu 2004 yang diharapkan menjadi momentum demokratisasi akan gagal dikonsolidasikan. Dan transisi demokrasi kembali menelan korban akibat krisis legitimasi yang berlarut-larut.[]

No comments:

Post a Comment