Thursday, November 25, 2004

Mengusung Agama Liberatif

Menegaskan bahwa teks berperan signifikan dalam membentuk corak keberagamaan seseorang merupakan suatu hal yang niscaya. Dalam konteks Islam, Al-Quran menjadi teks fundamental yang menempati ruang istemewa di kalangan pemeluknya. Sayangnya, pengistemewaan itu kerap diwujudkan dalam bentuk “persembahan simbolik” kepada Tuhan dengan pahala sebagai pemuasnya, atau bahkan dijadikan sebagai media yang dipertontonkan di hadapan khalayak dalam setiap ritual keagamaan. Al-Qur’an hanya ditampilkan dan diperkenalkan sisi keindahan dan keajaibannya, sementara kandungan maknanya nyaris dilupakan dan terlupakan. Al-Qur’an tak ubahnya benda antik yang terus diabadikan dalam museum dan kemudian ditempatkan dalam ruang hampa. Ia menjadi teks yang terlepas dari konteks sejarahnya.

Dan Semuanya Pasti Berubah

Kemarin, bunga itu masih kuncup dengan sedikit semerbak. Kini, bunga itu mekar dan tebar aroma surga. Besok, mungkin bunga itu kan layu. Tak ada aroma, tak ada nuansa, dan perlahan bunga-bunga itu pun berguguran. Ia pun membusuk.

Begitulah siklus alam berlangsung. Begitulah, tatkala senja tiba, malam pun hadir mengganti. Esok, pagi pun menghampiri. Begitulah cara Tuhan membina keseimbangan. Kenapa manusia tak pernah kuasa bersikap arif?

Pesantren Menjajaki Perubahan

Sebagai lembaga pendidikan berbasis agama, pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam. Dengan menyediakan kurikulum yang berbasis agama (religion-based curriculum), pesantren diharapkan mampu melahirkan alumni yang kelak diharapkan mampu menjadi figur agamawan yang demikian tangguh dan mampu memainkan dan membiaskan peran propetiknya pada masyarakat secara umum. Artinya, akselerasi mobilitas vertikal dengan penjejalan materi-materi keagamaan menjadi prioritas, untuk tidak mengatakan satu-satunya prioritas dalam pendidikan pesantren. Akibatnya, pemberian ruang yang demikian besar pada ilmu-ilmu keagaamaan telah menciptakan penghalang mental untuk melakukan perubahan di tubuhnya sendiri.

Menggagas Islam Progresif

Fenomena mutakhir yang tergelar di jagad semesta ini memperlihatkan dan menampilkan sebuah fenomena yang cukup mengerikan. Mengerikan karena kekerasan hampir menjadi potret tunggal yang dipentaskan. Penindasan satu kelompok atas kelompok lainnya juga menjadi tontonan paling dramatis dan santapan sehari-hari. Kemanusiaan di mana keadilan dipertaruhkan pun raib, dan yang bertahan adalah logika rimba atau apa yang digambarkan Hobbes sebagai homo homini lupus. Agama pun kehilangan elan vital untuk mendakwahkan moralitas perennialnya. Alih-alih mengharapkan kedamaian dan keadilan yang menjadi muatan utama agama, malah sebaliknya, sakralitas agama pun dinodai oleh umatnya demi menuruti ambisi sesaatnya. Agama pun, sebagaimana didedahkan Charles Kimball dalam bukunya, When Religion Becomes Evil (Harper San Francisco, 2002), menjadi semacam “makhluk” menakutkan yang hanya menebar kejahatan (evil). Jika demikian, apa yang dapat diharapkan dari agama dan umatnya? Adilkah menudingkan dan melimpahkan kesalahan pada agama? Bukankah agama-agama, termasuk Islam, sama sekali tidak menuturkan apa-apa, tetapi umatnyalah yang bertindak dan bertingkah? Islam says nothing, Muslims do (Omid Safi, 2003).

Wednesday, November 24, 2004

Memanusiakan Al-Qur'an : Marhaban Ya Nashr Hamid Abu Zayd


Tidak ada yang membantah bahwa Al-Qur’an yang kita yakini saat ini adalah proses metamorfosa dari teks oral (al-nashsh al-syafahy) menjadi teks tertulis (al-nashsh al-maktûb). Proses metamorfosis ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah teks bahasa (nashshun lughawiyun), yang menggunakan bahasa Arab sebagai mediumnya. Layaknya seluruh teks yang merupakan fenomena sejarah dan memiliki konteks spesifiknya, teks Al-Qur’an pun demikian. Sebagai firman yang memanusiawi (ta’ansana), Al-Qur’an tidak lahir dalam ruang yang hampa budaya, namun lahir dalam dan ruang dan waktu yang sarat budaya. Atas dasar ini, teks Al-Qur’an, sebagimana teks-teks linguistik lainnya, adalah teks historis (nashshun târikhiyun). Historisitas teks Al-Qur’an tampak dari proses penurunannya yang menjuntai tidak kurang dari dua puluh tiga tahun, dicandra oleh Nabi dan kemudian disampaikan pada umatnya. Dalam prosesnya, teks Al-Qur’an yang disampaikan secara verbal ini termaterialkan secara grafis dalam goresan tertulis dan terkodifikasi menjadi “korpus resmi tertutup”, untuk meminjam istilah Arkoun. Dalam konteks ini, Al-Qur’an telah beralih dari eksistensinya sebagai teks ilahi (nashshan ilâhiyan) menjadi pemahaman atau teks manusiawi (fahman/nashshan insâniyan).

Adalah Nasr Hamid Abu Zayd, pemikir eksil asal Mesir ini, melalui sejumlah karyanya yang cukup populer di tanah air ini menyatakan bahwa meskipun Al-Qur’an bersumber dari Tuhan, namun sakralitas firman Tuhan itu baru mendapat makna yang sesungguhnya tatkala kalam itu diposisikan secara manusiawi (tamawdha’a fîhâ basyariyan). Proses pemanusiawian ini sebenarnya telah berlangsung sejak Nabi Muhammad menuturkan firman-firman “verbal” Tuhan itu dalam Bahasa Arab, bahasa manusia di Jazirah Arab. Tanpa berpretensi mendesakralisasi teks Al-Qur’an secara mutlak, Abu Zayd sebenarnya hendak meneguhkan immanensi Al-Quran sehingga bisa dicandra oleh pemahaman manusia tanpa harus menampik asal-usul transendesialnya. Dalam konteks ini, Abu Zayd hendak mengulang ‘manifesto’ guru in absentia-nya, Amin Al-Khuli, yang mengatakan bahwa Al-Quran adalah “Kitab berbahasa Arab yang luar biasa” (Kitâb al-‘arabiyah al-akbar). “Kitab berbahasa Arab” mengindikasikan immanensi Al-Qur’an dan “Kitab yang luar biasa” mengindikasikan aspek transendennya. Meyakini Al-Quran sebagai teks berbahasa Arab dan menyejarah, Abu Zayd kemudian mendudukkan Al-Qur’an sebagai teks (Al-Qur’an ka Nashshin) yang memungkinkan dianalisis melalui perangkat kajian linguistik.

Tekstualitas dan Historisitas Al-Qur’an

Kenyataan bahwa Al-Quran itu immanen dan transenden sekaligus, oleh Abu Zayd ditunjukkan dengan penjelasaannya mengenai tekstualitas dan historisitas Al-Qur’an. Menurut Abu Zayd, tekstualitas Al-Qur’an ini dapat dijelaskan melalui tiga hal, pertama, Al-Qur’an adalah pesan yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad melalui kode komunikasi bahasa Arab via Jibril. Sebagai pesan, Al-Qur’an meniscayakan dirinya untuk dikaji sebagai sebuah teks. Kedua, urutan-urutan Al-Qur’an yang ada di tangan kita tidak sama dengan kronologi pewahyuan (tartîb al-nuzûl). Urutan kronologis pewahyuan menunjukkan sifat realistik teks, sementara struktur kronologi pembacaan (tartib al-tilawah) yang ada sekarang menunjukkan tekstualitasnya. Ketiga, adanya kenyataan bahwa Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat muhkamât yang menjadi ‘inti’ teks, dan ayat mutasyâbihât yang harus dipahami berdasarkan ayat-ayat muhkamât itu. Oleh karena tidak ada kesepakatan dalam penentuan ayat mana yang dikategorikan muhkamât dan ayat mana yang mutasyâbihât, maka hal ini mendesakkan pembaca tidak hanya menentukan ayat-ayat mutasyâbihat, melainkan memutuskan bahwa ayat muhkamât adalah ‘kunci’ untuk melakukan penjelasan pada ayat-ayat mutasyâbihat.

Dengan menegaskan tekstualitas Al-Qur’an, Abu Zayd hendak mengaitkan kembali kajian ilmu Al-Qur’an dengan konteks studi kritik susastra. Artinya, layaknya teks-teks lain, Al-Qur’an mungkin didekati dengan perangkat-perangkat kajian tekstual modern. Sebagaimana dikatakan Abu Zayd, Al-Qur’an adalah teks bahasa (nashshun lughawiyûn) yang mungkin bisa digambarkan sebagai teks sentral (nashshan mihwariyan) dalam peradaban Arab. Jika demikian, mendudukkannya sebagai teks historis tidak berarti mereduksi ke-ilahi-an teks Al-Qur’an. Historisitas teks inilah yang menjadikan Al-Qur’an sebagai subjek pemahaman dan takwil, dan dengan demikian analisis sosio-historis diperlukan dalam proses pemahaman ini sekaligus pada saat yang sama pemanfaatan metodologi linguistik modern menjadi suatu yang niscaya dalam praktik takwil. Di sinilah arti penting tekstualitas dan historisitas Al-Qur’an. Mengabaikan tekstualitas Al-Qur’an hanya akan mengarahkan pada pembekuan makna pesan, dan ketika makna pesan (di)beku(kan) maka akan sangat mudah dilacurkan oleh arahan dan kepentingan ideologis pembaca. Begitu pula mengabaikan historitas Al-Qur’an akan berdampak pada tercerabutnya makna Al-Qur’an dari konteks yang melingkupinya. Sayangnya, kecenderungan konservatif dalam pembacaan Al-Quran kerap melakukan apa yang oleh Asma Barlas (2003), intelektual eksil asal Pakistan, “decontextualize the Qur’an teaching by dehistoricizing the Qur’an itself because of a particular view of time” Akibatnya, pesan-pesan Al-Qur’an lepas dari ruang historisnya dan menjadi terasing dari pembacanya.

Againts Authoritarian Hermeneutics

Terlepasnya pesan-pesan Al-Qur’an dari konteks yang mengitarinya sekaligus konteks historis pembacanya ditambah dengan abainya pembaca teks terhadap “maksud tekstual” malah berdampak pada kesewenangan dalam mamahami teks. Maksud tekstual yang dimaksud adalah visualisasi yang tergelar dalam struktur linguistik bahasa tersebut. Dengan menampik maksud tekstual dan struktur ektratekstual, pembaca atau interpreter terjatuh pada apa yang diistilahkan Abu Zayd sebagai pembacaan ideologis tendensius (qira’ah talwiniyah mughridlah). Pembacaan tendensius ideologis inilah yang melahirkan apa yang oleh Khaled Abou al-Fadl disebut sebagai hermeneutika otoriter (authoritarian hermeneutic). Bagi Abou al-Fadl, hermeneutika otoriter ini terjadi ketika mekanisme pencarian makna teks terampas dan ditundukkan dari teks ke dalam pembacaan yang subjektif dan selektif. Subjektifitas dan selektifitas yang dipaksakan dengan mengabaikan maksud tekstual dan realitas ekstratekstual inilah yang menjadikan teks digiring sesuai dengan selera pembaca. Model pembacaan semacam ini yang patut ditolak, dan Abu Zayd salah satu pemikir yang paling lantang meneriakkan penolakannya.

Oleh karena itu, di samping memperhatikan jalinan intertekstualitas teks Al-Qur’an dalam berbagai dimensinya, hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah mengamati faktor ektratekstualitas teks, termasuk di dalamnya adalah ragam konteks yang mengitarinya, tidak saja konteks seputar penurunan wahyu, melainkan juga konteks pada saat teks itu menyejarah dan dibaca oleh masyarakat di sepanjang waktu dan di segala ruang. Meminjam tiga langkah hermeutik Barlas, setidaknya ada tiga langkah yang patut dilakukan ketika membaca Al-Qur’an, yaitu membaca Al-Qur’an sebagai teks (to read the Qur’an as text), yaitu membaca teks Al-Qur’an dalam kerangka menangkap dan mengungkap maksud Tuhan; membaca apa yang ada dibalik teks (to read behind text), yaitu merekonstruksi konteks historis di mana teks itu lahir; dan membaca apa yang ada di hadapan teks (to read in front of text), yaitu rekontekstualisasi pesan-pesan teks dalam konteks kebutuhan saat ini. Dengan upaya semacam ini, penundukan teks demi kepentingan pembaca dapat dihindari. Dan Abu Zayd sebenarnya hendak mewartakan model pembacaan produktif sebagai lawan dari pembacaan ideologis tendensius itu. Marhaban ya Nashr Hamid Abu Zayd.