Friday, November 21, 2003

Formalisasi Substansi Syari'at

Geliat untuk menghadirkan pesan Islam secara utuh oleh kalangan tertentu ditunjukkan dengan upaya menerapkan syariat Islam. Tidak cukup dengan penerapan syariat yang jelas merupakan kewajiban individual umat, kalangan tertentu berhasrat untuk memformalkan syariat atas dasar bahwa formalisasi syariat merupakan obat mujarab (antidote) menuntaskan rumitnya persoalan yang hingga kini terus mendera umat dan bangsa. Mereka seolah ingin menegaskan bahwa ”Islamisasi struktural” dengan memanfaatkan otoritas politik untuk mendesakkan kepentingan agama tertentu menjadi keharusan, bahkan kewajiban agama yang akan berdosa jika ditolaknya. Menolaknya dianggap sebagai penolakan terhadap sakralitas syariat yang ilahiah(divine order) sekaligus pembangkangan terhadap Tuhan sebagai ”perumus” syariat.

Semangat inilah yang terus dipropagandakan oleh sebagian umat Islam mutakhir, tidak terkecuali di Tanah Air. Dengan mengambil bentuk formalisasi, kelompok kepentingan ini begitu yakin bahwa segala sesuatu akan terselesaikan dengan medium represif yang bernama negara. Dengan demikian, negara bisa saja mengendalikan dan mengawasi keyakinan agama warganya: suatu hal yang sejatinya menjadi tanggung jawab pribadinya.

Dalam konteks negara yang menampung beragam keyakinan agama, Indonesia misalnya, formalisasi syariat jelas menimbulkan persoalan. Persoalan ini begitu kentara ketika syariat yang dimaksud menyangkut hukum publik atau hukum pidana yang berdampak tidak saja pada umat yang menganut syariat, tetapi juga—dan ini yang terpenting—pada umat lain di luar penganut syariat ini. Berbeda dengan hukum perdata yang hanya mengatur internal umat yang mengakui syariat tersebut tanpa mengikat pada kelompok di luarnya. Nyatanya, pengusung formalisasi syariat tampaknya lebih mengedepankan proyek formalisasi syariat publik yang mengatur warga negara secara keseluruhan. Di sinilah problem itu terjadi, tidak saja bagi umat Islam tetapi juga bagi penganut agama lainnya.

Dalam konteks Islam, formalisasi syariat berdampak pada unifikasi hukum. Unifikasi hukum yang diciptakan negara berujung pada terberangusnya ruang perbedaan yang sebenarnya juga disediakan oleh syariat. Sementara dalam konteks luar Islam, formalisasi syariat jelas berakibat pada pemaksakan ajaran dan keyakinan tertentu bagi kelompok lain dalam sebuah negara. Kontrak sosial yang disediakan negara hangus akibat dominasi agama tertentu yang ambil bagian dalam formalisasi syariat. Ini juga akan berujung pada retaknya perekat sosial dari sebuah negara yang dari awal mendakwa sebagai wadah peleburan (melting pot) dari beragam entitas, baik etnik maupun agama. Namun sayangnya, hal ini tidak disadari oleh para penggiat formalisasi. Mereka pun seolah melupakan pengalaman negara lain yang lebih awal mempropagandakan semangat serupa, namun akhirnya tidak kuasa melapangkan keinginannya.

Pengalaman Negara Lain

Amatlah bijak apabila kita belajar dari pengalaman negara lain yang lebih awal mendeklarasikan dirinya telah menpraktikkan syariat Islam dalam konstitusi negaranya. Tengokan sejarah ini penting bukan karena mereka telah berhasil meresmikan syariat Islam sebagai official canon dalam penyelenggaraan pemerintahannya, melainkan karena implikasinya terhadap kemungkinan demokratisasi dan penegakan hukum yang dicita-citakan oleh bangsa dan masyarakat yang majemuk.

Mengamati fenomena formalisasi syariat di beberapa negara semisal Sudan, Iran, Pakistan, Afghanistan, dan Arab Saudi, tampaknya kita tidak menemukan formulasi konseptual yang tunggal tentang rumusan syariat Islam yang hendak diformalisasikan. Negara-negara tersebut ternyata tidak memiliki keseragaman bentuk syariat Islam yang bagaimana yang hendak diejawantahkan dan bentuk syariat Islam yang mana yang hendak diterapkan. Belum lagi negara-negara yang mendakwakan dirinya menerapkan syariat Islam tidak lebih berhasil dibandingkan negara lain yang tidak begitu berambisi melapangkan formalisasi syariat. Malah di negara yang berlabel negara Islam ini badai konflik tak berkesudahan. Jangankan dengan orang di luar kelompok agamanya, dengan kelompok di internal agamanya pun kerap terjadi ketegangan.

Tampaknya kegamangan konseptual semacam itu berikut dampak-dampak sampingannya semakin mengukuhkan anggapan bahwa greget formalisasi syariat itu tidak lebih dari indikasi mengentalnya semangat Islamisasi politik. Semangat ini misalnya ditandai dengan kecenderungan untuk menghadirkan sebuah ”komunitas imagener” yang kerap dilekatkan pada komunitas muslim pertama. Kecenderungan yang bercorak romantik-atavistik yang menginginkan hadirnya kembali komunitas dan sistem politik par excellence pada masa Nabi dan empat khalifah Islam pertama, yang bagi kelompok ini dianggap mengguratkan pola-pola ideal penerapan syariat.

Bisa jadi fenomena ini menggambarkan ”strategi cari selamat” dari pengalaman kegagalan eksprementasi keberagamaan yang cenderung melacurkan nilai-nilai agama sebagaimana disebarkan sekularisme. Atau mungkin juga, fenomena formalisasi syariat hanyalah bentuk kemunafikan, atau meminjam istilah Olivier Roy dalam bukunya The Failure of Political Islam(1996), hile shar’i: akal-akalan hukum yang pada akhirnya memungkinkan umat mengelak dari larangan syariat tanpa terbebani dosa. Ini juga, misalnya, ditunjukkan dengan mengecambahnya bank-bank berlabel syariah, yang lagi-lagi menurut Roy tidak lebih dari strategi pemasaran dan bukanlah suatu alternatif pola tatanan sistem perekonomian baru. Label syariah semata-mata dijadikan sebagai produk menggiurkan di tengah-tengah fenomena bangkitnya aktivisme religius yang berambisi meng-agama-kan seluruh sistem kehidupan umat.

Jika demikian, proyek formalisasi hanyalah proyek simbolisasi dan lebelisasi keberagamaan dengan melapisi (vaneered) seluruh aspek kehidupan warga tanpa menyentuh substasi nilai-nilai agama itu sendiri. Jika ini yang terjadi, ambisi formalisasi syariat akan terkesan ilusif dalam menciptakan kesejahteraan warga secara umum dengan melampaui sekat-sekat keyakinan tertentu.

Syariat Substansial

Tidak ada yang membantah bahwa syariat adalah kewajiban agama yang mutlak ditaati. Namun persoalannya menjadi lain ketika keunikan syariat yang dimiliki kelompok agama tertentu dipaksamasukkan dalam hukum positif sebuah negara yang mewadahi beragam keyakinan. Reduksi, bahkan penunggalan, yang kemudian disertai dengan penolakan pada yang lain (rafdlu al-âkhar) dapat dipastikan akan terjadi, dan ujungnya sentimen agama yang mestinya diendapkan, menguap dalam wujud pertarungan simbol. Dari pertarungan simbol inilah keretakan hubungan mesra antar-agama mulai tercemari hingga akhirnya berujung konflik atas nama agama.

Dalam konteks ini, ”proyek” formalisasi syariat yang mengedepankan ”cara” (tehnique) dalam menerapkan syariat, yaitu positivisasi syariat Islam melalui jaring-jaring kekuasaan, dipastikan menemukan ajalnya. Berbeda dengan pandangan yang mengutamakan penerapan nilai-nilai syariat (the primacy of values) yang melampaui batas-batas formalnya. Pandangan ini relatif bisa mewadahi pluralitas agama yang menjadi ikon kehidupan beragama dewasa ini.

Inilah ironi sebagian kalangan yang demikian bersemangat melapangkan formalisasi syariat, sementara mereka tidak menyadari bahwa di balik niat tulus mem-praxis-kan syariah ternyata mereka lupa ada efek negatif pula yang dimunculkan. Ketulusan untuk melaksanakan agama secara utuh ternyata tidak dibarengi dengan cara beragama (mode of religiousity) yang utuh pula. Ketaatan pribadi dengan Tuhan (ibadah ritual) tidak diiringi dengan sikap saling memahami dan menghargai sesamanya (ibadah sosial). Dan formalisasi syariat Islam jelas merentankan terjadinya kesalahpahaman antarsesama. Seharusnya bukanlah syariat yang diformalkan, tetapi substansi syariat yang mengandung pesan keadilan itulah yang diformalkan.[*]

[Dimuat di harian sore Sinar Harapan, 20 November 2003]

Saturday, November 15, 2003

Ketika Syariat Islam Di-KHUP-kan

Euforia legislasi syariat Islam belum menunjukkan tanda-tanda usai. Alih-alih, semangat itu terus menggelora dan terus mencari ruang akselerasi untuk meloloskan impiannya, terutama momentum revisi KUHP yang saat ini masih berbentuk Rancangan Undang-Undang (RUU). Bayangan indah “masa silam” dengan mengambil format pemerintahan Nabi di Madinah, selalu saja menjadi tipe ideal kelompok pro-legislasi syariat Islam untuk meniscayakan penerapannya dalam konteks saat ini. Tidak terkecuali keinginan sebagian umat Islam di tanah air belakangan ini untuk mendesakkan formalisasi syariat Islam juga disemangati impian serupa.

Padahal, rentang sejarah yang menjaraki masa ideal dengan realitas kini tidak lagi relevan untuk disejajarkan. Ini disebabkan karena di samping sejarah masa lalu yang tidak tunggal dan tidak statis, juga kenyataan adanya keragaman pemahaman terhadap formulasi syariat yang nyata-nyata tidak tunggal pula. Munculnya beragam madzhab fiqh misalnya menjadi contoh tepat adanya pluralitas pemahaman para yuris muslim.
Persoalan inilah yang menjadikan kehendak formalisasi syariat Islam menemukan persoalan, termasuk juga persoalan menyangkut revisi KUHP yang dilakukan Departeman Kehakiman dan HAM. RUU KUHP yang digodok Direktur Jenderal Perundang-undangan Depkeh HAM ini berambisi untuk menghadirkan hukum yang khas Indonesia dengan memanfaatkan hukum adat, agama, dan hukum pidana sekular. Adanya nuansa syariat Islam yang dicobamasukkan seolah menjadi momentum signifikan bagi pendesak legislasi syariat Islam untuk semakin bergairah meloloskan cita-citanya.

Harus diakui, ambisi untuk memanfaatkan sumber hukum, baik hukum adat, hukum agama, dan hukum sekular dalam RUU KUHP ini tentu merupakan usaha positif di tengah kenyataan hukum nasional yang tidak lagi memadai dan out of date dalam konteks kekinian bangsa. Namun di balik nilai positif ini, sejumlah kendala sebagaimana diudar di atas menjadi hambatan tersendiri bagi perumusan revisi undang-undang ini. Bahkan kalau tidak diawali pengamatan, pengkajian, pengujian mendalam tidak mustahil hasil yang bakal dicapai tidak lebih baik dari perundang-undangan sebelumnya. Dan jika ini yang terjadi, kesan “proyek” dan setiap upaya revisi undang-undang akan lebih mengemuka ketimbang niat tulus menyempurnakan kekurangan yang ada.

Kendala lainnya yang patut diperhatikan adalah konsekuensi dari “Islamisasi KUHP” adalah penunggalan norma agama tertentu yang tentu saja berlawanan dengan realitas keagaman bangsa Indonesia yang plural. Realitas bangsa kita yang tidak tunggal ini tidak harus dipadatkan sedemikian rupa dengan mengabaikan “realitas lain.” Demikian pula dalam hal memasukkan norma-norma hukum dalam revisi KUHP. Kalaupun harus memasukkan norma-norma agama ke dalam rumusan revisi itu, patut diperhatikan bahwa agama yang berkembang dan berhak hidup di nusantara ini bukan hanya Islam. Norma-norma agama lain pun seharusnya dipertimbangkan keberadaannya. Persoalannya adalah ketika menyangkut revisi KUHP dengan memasukkan sejumlah unsur-unsur Islam ke dalamnya. Bahkan, upaya tersebut ditengarai sebagai entry point meloloskan mega proyek formalisasi syariat Islam yang akhir-akhir ini digadang-gadang oleh sebagian kelompok Islam tertentu.

Menanggapi upaya Islamisasi KUHP sebagaimana digodok Dirjen Perundang-undangan Depkeh HAM, Nurcholish Madjid sebagaimana dilansir Media Indonesia (14/10/2003) menyatakan bahwa masuknya syariat Islam dalam KUHP merupakan suatu persoalan, karena masalah syariat itu sendiri masih kontroversi, paling tidak di bagian mana dan pendapat siapa yang diikuti. Tentu saja kekhawatiran ini wajar saja terjadi karena dalam realitasnya rumusan syariat Islam yang ada tidaklah monolitik. Pergulatan para yuris awal Islam terbukti melahirkan varian pemikiran yang plural yang hampir tidak mungkin untuk ditunggalkan. Beragamnya tantangan yang dihadapi para yuris saat itu kemudian melahirkan aspirasi yang beragam dalam menafsir kehendak Tuhan.

Jika demikian, dimana kemudian KUHP memposisikan dirinya? Di satu sisi, kenyataan bahwa masyarakat Indonesia meyakini agama yang beragam. Di sisi yang lain, realitas internal hukum Islam yang tidak tunggal tadi. Fenomena ikhtilaf yang berkembang dikalangan ulama fiqh misalnya menggambarkan peliknya memadatkan hanya pada aliran pemikiran tertentu. Satu hal yang patut ditekankan adalah bahwa kekayaan bursa pemikiran dan gagasan anak bangsa menuju terciptanya kehidupan bangsa yang berwibawa hendaknya tidak direduksi pada penunggalan aspirasi, apalagi aspirasi yang menjebak pada lahirnya perpecahan. Pemihakan pada norma dan prinsip tertentu tidak harus menghabisi norma-norma dan prinsip-prinsip lainnya yang berbeda. Tidakkah lebih arif untuk menginternalisasikan nilai-nilai universal agama-agama ketimbang membingkai dari nilai agama tertentu?

Sembari menunggu DPR bersidang dan memutuskan rancangan KUHP ini sebijak mungkin, seharusnya pemerintah juga menimbang aspek visibilitas dan viabilitas berlakunya KUHP yang beraroma Islam ini di bumi nusantara. Tanpa mempertimbangkan hal tersebut, dapat dipastikan rancangan KUHP ini hanya menjadi produk yang tak layak guna, mengingat penerimaan masyarakat yang tidak maksimal, atau malah penolakan.
Sekadar berharap lahirnya keputusan yang tepat menyikapi beragamnya keinginan dalam masyarakat menyangkut revisi KUHP, sudah seharusnya pemerintah memikirkan bagaimana menertibkan mentalitas pelaksana dan penegak hukumnya. Tanpa memperbaiki mentalitas aparat, mustahil hukum terejawantah secara baik betapapun rumusan-rumusannya tertata dengan baik, bahkan berlandaskan nilai-nilai Islam sekalipun. Lebih parah lagi, produk hukum itu akan dikhianati sendiri oleh pembuatnya. Di sinilah “reparasi mentalitas” patut dikedepankan sebelum bersibuk mengurus Islamisasi hukum formalnya. [Dimuat di Harian sore Sinar Harapan, 14 November 2003] (*)

Thursday, November 13, 2003

Menyoal Legislasi Syariah

Di tengah haru-biru suara sebagian kalangan untuk legislasi syariat di tanah air, buku yang disuguhkan Jamal Al-Banna menarik untuk dicermati. Paling tidak buku ini menghadirkan “suara lain” dari wilayah seberang untuk khalayak tanah air yang akhir-akhir ini begitu bergairah untuk menghadirkan model Islam yang mereka anggap sebagai “Islam Kaffah.”

Jamal Al-Banna, pemikir yang banyak bergelut dengan dunia buruh ini, lahir pada tahun 1920. Perhatian pada dunia kaum tertindas ini mendesakkan beliau untuk mendirikan Al-Jam’iyah al-Mishriyah Li Ri’âyati al-Masjûnîn wa Asrihim (1953), sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang penangan tahanan, dan Al-Ittihâd al-Islâmy al-Dawlî Li al-‘Ummal, sebuah organisasi internasional dalam persoalan buruh dan tenaga kerja. Selain sebagai aktivis yang bergelut dalam dunia praksis, Jamal Al-Banna yang juga saudara pioner Ikhwan al-Muslimin, Hasan Al-Banna, merupakan pemikir yang banyak melahirkan karya, termasuk dua buku ini, Khamsatu Ma’âyîr Li Mishdâqiyah al-Hukmi al-Islamî (Lima Kriteria Kredibilitas Hukum Islam) dan Qadhiyatu Tathbîqi al-Syarî’ah (Tentang Legislasi Syariat).

Dalam buku pertama yang terbit pada tahun 1996 ini, Jamal berupaya menyingkap setidaknya ada tiga kecenderungan dalam pemikiran hukum dalam Islam. Kelompok pertama diwakili oleh pola Khawarij yang mendeklarasikan slogan “yang ada hanya hukum Allah” (Lâ Hukma Illa Lillah) yang pengaruhnya samar-samar masih membekas hingga kini. Sebagian yang lain mengusung slogan legislasi syariat sebagai ekspresi dari pelaksanaan hukum Islam. Dan yang terakhir adalah kelompok yang meyakini bahwa hadirnya kembali khilafah Islamiyah. Bagi kelompok ini, runtuhnya khilafah Islamiyah pada tahun 1924 sebagai bentuk keruntuhan dunia Islam secara umum, dan oleh karena itu untuk membangun kembali Islam, khilafah Islamiyah mutlak dimunculkan kembali.

Bagi Jamal Al-Banna, tiga ekspresi yang muncul dalam kelompok-kelompok Islam ini gagal dalam memahami substansi hukum Islam. Dalam hal ini, sebagaimana terungkap dalam buku Khamsatu Ma’âyîr Li Mishdâqiyah al-Hukmi al-Islamî, Jamal menyuguhkan lima hal mendasar yang menjadi kriteria kredibilitas hukum Islam. Pertama, tujuannya adalah “memakmurkan bumi” (i’mâru al-ardh). Sembari membantah argumen Sayyid Qutb yang mengandaikan “otoritas ilahi” (al-hakimiyah al-ilahiyah) dalam pemerintahan dan menghujat serta menuding setiap sistem yang tidak menampilkan otoritas ilahi secara utuh sebagai jahiliyah, Jamal Al-Banna mengatakan bahwa apa yang dikehendaki oleh kelompok Qutb ini adalah model gerakan yang yang meyakini Islam to Islam (Islam untuk Islam) atau persis dengan kelompok revolusioner yang meyakini prinsip revolution to revolution (revolusi untuk revolusi). Betapapun gagal menuai hasil, kelompok ini biasanya selalu membela dan membenarkan prinsipnya, persis seorang dokter yang mendakwa berhasil dalam praktik medisnya walalupun si pasien itu sebenarnya mati.

Padahal, menurut Jamal Al-Banna, tugas pemerintah yang terlembaga dalam negara adalah menyejahterakan kehidupan di bumi, bukanlah “memberikan hidayah” yang itu menjadi tugas dan wewenang agama. Negara, tambah Jamal, adalah alat regulasi dan supervisi yang berwenang mengatur dan mengawasi praktik “penyejahteraan bumi”. Adalah bukan wewenang negara untuk intervensi dalam wilayah agama yang menjadi tanggung-jawab individu warga negara.

Kedua, iklimnya adalah kebebasan. Kebebasan atau al-hurriyah dalam arti yang seluas-luasnya hendaknya menjadi prinsip yang mutlak ditegakkan oleh siapapun, tidak terkecuali Nabi. Dan kritik menjadi bagian yang mutlak dilakukan. Sebagaimana digambarkan dalam sejarah, Nabi–demikian pula para sahabatnya—begitu menghargai “suara lain” tanpa harus membisukannya. Ini tergambar, misalnya, dari sikap Nabi yang selalu menghargai suara mayoritas betapapun berlawanan dengan pendapatnya sendiri. Kasus yang terjadi dalam perang Badar dan Uhud dapat dijadikan contoh. Atau juga kasus ketika mayoritas orang Islam membaiat Abu Bakar sebagai khalifah paska kematian Nabi, lalu ia berkata, ”Jika aku berbuat baik maka ikutilah aku, dan jika keliru maka koreksilah aku”. Inilah sikap yang ditonjolkan Nabi dan sahabatnya untuk memberikan ruang berpikir bebas kepada warganya sekaligus memberikan ruang untuk menerima kritik.

Kriteria ketiga, porosnya adalah keadilan. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan dalam berbagai hal, termasuk di antaranya adalah keadilan ekonomi dan keadilan dalam menentukan kebijakan. Dalam konteks ini, keadilan selalu berjalin berkelindan dan hanya mungkin terlaksana dalam iklim yang bebas. Dan prinsip inilah yang mutlak dikedepankan demi terciptanya kesejahteraan warga.

Kriteria keempat, medium pengambilan keputusannya adalah syura. Syura mutlak diperlukan demi menepis dominasi suara tunggal dengan membisukan suara-suara lain dalam mempertimbangkan tepat-tidaknya keputusan. Dalam konteks ini, suara-suara itu tidak saja terbatas pada mereka yang menduduki posisi majlis syura, melainkan dalam arti yang lebih luas lagi adalah suara-suara yang direpresentasikan media massa, elektronik atau cetak.

Dan yang kelima, hukumnya adalah “risalah”. Satu hal yang membedakan prinsip pemerintahan dalam Islam adalah “risalah” yang dijadikan pedomannya. Risalah Islam tidak mengenal otoritas yang menampilkan medium represif dalam menegakkan ajarannya. Risalah Islam pun tidak membenarkan aparat bertindak semena-mena sesuai kehendaknya, melainkan dengan undang-undang yang terepresentasi dalam Alquran yang seluruhnya berporos pada nilai-nilai keadilan. Dan inilah substansi dari syariah.
Sayangnya, lima hal itu diabaikan begitu saja, dan yang dikedepankan adalah slogan-slogan kosong semisal “tak ada hukum kecuali hukum Allah” atau juga slogan yang begitu populer akhir-akhir ini, yaitu “legislasi syariat Islam”. Apa kemudian yang dikehendaki dengan slogan legislasi syariah yang kerap didengung-dengungkan kelompok Islamis di berbagai penjuru dunia, tidak terkecuali di Indonesia? Melalui buku Qadhiyatu Tathbîqi al-Syarî’ah yang terbit tahun 1998, Jamal Al-Banna mengupas persoalan legislasi syariat yang kerap memanfaatkan tangan negara dalam proses legislasinya.

Bagi kalangan pengusung legislasi syariat, sejumlah persoalan yang menimpa umat hanya mungkin tertuntaskan dengan tathbîq syari’ah. Dan syariah pun kemudian direduksi menjadi “ruang sempit” yang bernama hudûd. Padahal kata Jamal Al-Banna, pesan-pesan Islam yang tertuang dalam kurang lebih enam ribuan ayat, hany lima ayat yang menyoal sangsi tertentu (al-‘uqûbât al-muqaddarah) hanya lima ayat: had potong tangan bagi pencuri (Al-Mâ’idah: 38), dera bagi pelaku zina (An-Nûr: 2), had qadzaf (An-Nur: 4), hirâbah [“orang yang meruntuhkan sendi-sendi negara dan agama] (Al-Mâ’idah: 33), dan qishash (Al-Baqarah: 178). Lima ayat ini pun kemudian menutup “ruang-ruang yang luas” yang menyoal tentang taubat, istighfar, taqwa, amal shalih, dan sebagainya yang begitu banyak tersebar dalam sejumlah ayat kitab suci. Inilah ironi sebagian kalangan yang demikian bersemangat melapangkan legislasi syariat, sementara mereka tidak menyadari bahwa dibalik niat tulus mem-praxis-kan syariah ternyata mereka lupa ada efek negatif pula yang dimunculkan.

Ini didasarkan, tambah Al-Banna, pada kenyataan bahwa legislasi syariat kerap menuntut upaya “formalisasi” (taqnîn qanûnan muhaddadan) yang melibatkan kekuasaan negara. Padahal sejarah membuktikan bahwa apa yang diinginkan Khalifah Umar ibn Abdul Aziz untuk menunggalkan hukum di berbagai wilayah yang berlainan gagal terlaksana sebagaimana juga terjadi pada Malik ibn Abdul Malik pada generasi sebelumnya. Belum lagi kisah yang tergambar dari narasi Imam malik ibn Anas yang pada pemerintahan Abu Ja’far al-Manshur memintanya untuk menyebar kitab yang disusunnya—Al-Muwaththa’—ke berbagai wilayah kekuasaannya agar dijadikan pedoman tunggal. Tapi apa yang terjadi, Malik pun enggan menuruti keinginan penguasa mengingat telah berkembangnya beragam versi hukum yang didapatnya dari sejumlah riwayat hadis.

Pilihan Malik yang enggan menuruti selera penguasa saat itu dapat dipahami bahwa jika hal itu diafirmasi, maka sudah pasti penunggalan pemahaman yang terjadi dan pada saat yang sama pembungkaman pada suara-suara lain yang juga memiliki rasionalisasi yang sama. Dan iklim kebebasan sebagaimana kriteria yang diajukan Jamal Al-Banna gagal terjadi.
Menyikapi peliknya perselingkuhan yang terjadi antara pemikiran keagamaan dengan otoritas politik sebagaimana terjadi dalam proyek “formalisasi legislasi syariat,” Al-Banna, mengikuti pandangan Syalthout yang mengatakan bahwa Islam adalah akidah dan syariat, mengajukan pertanyaan retorik berikut: mana yang diprioritaskan, pemantapan akidah (ta’mîq al-aqidah) atau legislasi syariat (tathbîq al-syarî’ah)? Belajar dari pengalaman Nabi selama di Mekkah dan Madinah, dapat disimpulkan bahwa pemantapan akidah mutlak dikedepanakan sebelum kemudian legislasi syariat. Ini terlihat misalnya dengan rentang waktu yang dihabiskan Nabi di Mekkah selama kurang lebih 13 tahun hanya difokuskan pada pemantapan akidah dan selanjutnya selama kurang lebih 10 tahun di Madinah baru Nabi menerapkan syariat. Akhirnya, Al-Banna menyimpulkan bahwa akidah sebenarnya adalah jiwa dan syariat adalah tubuh di mana jiwa bersemayam.

Mengakhiri tulisannya, Al-Banna lagi-lagi mengajukan sebuah pertanyaan, apa sebenarnya yang dikendaki syariah. Dengan jawaban singkat dan padat, Al-Banna menjawab pertanyaannya sendiri: keadilan. Dan keadilan inilah yang menjadi spirit syariah. Dalam konteks Islam, sinergitas pemantapan akidah dan legislasi syariat selalu saja mengacu pada “apa yang diturunkan Allah,” dan kandungan pesan-pesan yang diturunkan Allah itu adalah “Kebenaran” (al-Haqq). Kebenaran dalam muatan ideologisnya menyumbangkan kesempurnaan keimanan dengan akidah, sementara dalam muatan praksisnya, kebenaran itu adalah keadilan. Dan dengan keadilan, kita sebenarnya menancapkan sebuah prinsip: bela kaum tertindas dan lawan kezaliman, termasuk kezaliman penguasa yang tak kuasa memahami realitas objektif warganya serta tak mampu memberikan kenyamanan bagi warganya. Di sinilah perlu diajukan pertanyaan: apakah formalisasi syariah mampu menghadirkan keadilan yang menurut Jamal Al-Banna merupakan semangat syariah, atau malah merunyamkan kedamaian warga?

(Resensi atas dua buku Gamal Al-Banna "Khamsatu Ma’âyîr Li Mishdâqiyah al-Hukmi al-Islamî dan Qadhiyatu Tathbîqi al-Syarî’ah)